Imbas Kepadatan Penduduk Pada Kehidupan Rumah Susun Penjaringan Sari
Masalah
kepadatan penduduk merupakan permasalahan yang selalu ada pada kota-kota besar
di Indonesia. Salah satunya yaitu Surabaya, dimana Surabaya merupakan kota
terbesar ke 2 di Indonesia. Permasalahan ini bisa dibilang merupakan sumber
dari segala permasalahan yang ada. Dan salah satu permasalahan yang ada pada
kota Surabaya dari tahun ke tahun yaitu banyaknya pemukiman-pemukiman ilegal.
Permasalahan ini merupakan imbas terbesar dari kepadatan penduduk. Pemukiman
ilegal itu sendiri terjadi karena besarnya persaingan hidup dari segi ekonomi,
skill dan ilmu pengetahuan. Banyak masyarakat luar kota Surabaya yang merantau
tanpa dibekali skill dan ilmu pengetahuan yang menyebabkan mereka kesusahan
dalam segi ekonomi. Dan dari situlah yang menyebabkan banyaknya pemukiman
ilegal. Sebagian masayarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi memilih untuk mendirikan tempat tinggal ilegal
dikarenakan tidak adanya biaya administrasi untuk mendirikan bangunan tersebut.
Dari
permasalahan pemukiman ilegal tersebut Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah
berencana membangun rumah susun yang diperuntukkan masyarakat yang bertempat
tinggal ilegal sejak tahun 1980-an dan mulai diterapkan pada tahun 1992. salah
satunya yaitu rumah susun Penjaringan Sari. Rusun ini dimanfaatkan Pemkot
Surabaya untuk menampung para warga yang digusur dari beberapa kawasan
pemukiman ilegal di Surabaya, terutama dari kawasan Karang menjangan, Jl. Dr.
Soetomo, Wonorejo, serta stren- stren kali. Dalam proses penggusuran serta
perpindahan warga di kawasan tersebut tidaklah berjalan mulus. Beberapa faktor
penghambatnya proses penggusuran serta pemindahan warga yaitu adanya sebagian
warga yang tidak mau tempat tinggalnya digusur dan adanya beberapa warga
pendatang yang tidak memiliki KTP Surabaya, karena Rusun Penjaringan Sari ini
berada di kawasan Surabaya Timur yang dulunya merupakan daerah dekat tambak
atau rawa yang mengakibatkan daerah tersebut sangat sepi. Dan faktor itulah
yang menyebabkan sebagian warga tidak mau untuk pindah. Namun setelah melalui
pendekatan Pemkot Surabaya berhasil membuat sebagian warga tersebut ingin pindah.
Setelah 22
tahun dihuni kini Rusun Penjaringan Sari memiliki jumlah kira-kira 480-an orang
yang tinggal di dalamnya. Beberapa diantaranya merupakan warga lama yang
terdiri dari warga penggusuran Karamenjangan, Jl. Dr. Soetomo tahun 1991 dan
warga baru yang terdiri dari warga penggusuran stren kali di wilayah Jagir dan
Wonorejo pada tahun 2002-2004. Namun seiring berjalannya waktu, banyak warga
pendatang yang bukan merupakan korban penggusuran turut menempati Rusun
Penjaringan Sari. Hal ini disebabkan mengingat Rusun Penjaringan Sari dekat
dengan wilayah perindustrian rungkut. Warga pendatang sendiri, umumnya memilih
untuk tinggal di Rusun Penjaringan Sari karena dekat dengan tempat kerja mereka
sehingga jumlah warga pendatang yang menyewa atau membeli rumah di Rusun ini
semakin meningkat. Dalam wawancara penulis kepada salah satu warga selaku ibu RT blok B mendapatkan hasil bahwa hampir
semua warga yang tinggal di Rusun Penjaringan Sari ini adalah warga pendatang.
“Emang ada ya
bu kalo yang korban penggusuran terus tidak menempati rumah (rumah pemberian
Pemkot) terus dijual ke orang lain, kaya hak patennya (hak kepemilikan) dijual
ke orang lain?”
“Banyak...”
kata ibu RT blok B.
“Terus
rata-rata yang punya surat kemana buk? Kembali atau...?”
“Ya sudah
punya rumah sendiri mbak, mbangun di desa atau beli atau sudah meninggal jadi
dikasikan ke anaknya gitu loh..” kata ibu RT blok B.
Dari wawancara
pertama kepada ibu RT blok B pada tanggal 1 Desember 2014 tersebut menghasilkan jawaban yang cukup
mengejutkan, dimana ibu RT blok B menyatakan bahwa hampir semua penghuni Rusun
Penjaringan sari ini adalah penduduk pendatang. Yaitu warga yang memilih untuk
tinggal di Rusun PS dengan menyewa atau membelinya dari “pemilik” asli. Dengan
kata lain mereka harusnya tidak memiliki hak untuk menempati Rusun Penjaringan
Sari. Dan hal ini sangatlah bertentangan dengan Salah satu peraturan yang dulu
disosialisasikan pada warga yaitu bahwa mereka dilarang memindah-tangankan,
menyewakan dan menjual unit Rusun Penjaringan Sari. Namun pada kenyataannya
peraturan tersebut tidak dilaksanakan. Karena menurut penulis ada sesuatu yang
perlu diselidiki secara mendalam, maka penulis mencoba melakukan wawancara
dengan warga Rusun Penjaringan Sari lainnya. Pada wawancara ke 2, penulis
melakukan wawancara kepada 2 orang yang sedang menjaga Rusun Penjaringan Sari
blok C dalam rangka siskamling bergiliran.
“Sudah berapa
lama pak tinggal disin?”
“Kalo aku uda
12 tahun”
“Oh, termasuk
warga asli ya pak?”
“Nggak asli”
“Yang pertama
sebelum bapak itu yang menempati siapa? sodaranya apa..”
“Enggak, awal
awalnya ini kan.. kalo saya pribadi ini saya beli di Pegawai Negeri Sipil (PNS)
orang Kota Madya, dia punya jatah rumah disini terus dialihkan sama ada juga
yang dari umum.”
Wawancara
tersebut memperjelas mengenai permasalahan praktik jual beli pada Rusun
Penjaringan Sari. Dan bahkan salah satu dari warga yang diwawancari mengatakan
jika dia memebli unit Rusun ini melalui pegawai dari Kota Madya sendiri. Dalam
praktik jual beli ini muncul lah pertanyaan “bagaimana bisa praktek jual beli
ini bisa terjadi tanpa pengawasa dari Dinas yang terkait Rusun ini?”. Tentu
saja karena kurangnya pengawasan dari Dinas terkait praktek ini serta adanya
opnum-opnum pemerintahan yang melakukan kecurangan dalam proses-proses
administrasi. Namun itu semua tidaklah lepas dari permasalahan utama pada kota-kota
besar. Dimana besarnya persaingan hidup pada kota Surabaya yang menyebabkan
sebagian orang menghalalkan segala macam cara demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Terlepas dari
permasalahan tersebut harusnya pemerintah daerah maupun pusat tidak hanya
memberikan sebuah pemberian yang langsung digunakan masyarakat miskin untuk
kelangsungan hidupnya. Namun harusnya pemerintah lebih memengutamakan pemberian
bekal dalam segi hard skill maupun soft skill untuk diterapkan dalam kehidupan
masyarakat miskin. Karena hal tersebut dapat menunjang skill dan kemandirian masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun adapun hal terpenting dari progam
pemberian bekal pada masyarakat miskin, yaitu agar mereka mampu
mengimplementasikan segala bentuk pemberian bekal dari segi hard skill ataupun
soft skill untuk diterapkan langsung dalam kehidupan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar