SELAMAT DATANG DI BERBAGAI CERITA REZKY

Selasa, 29 Maret 2016

Profil Bagian Wilayah Perkotaan Bangil Kabupaten Pasuruan

Kecamatan Bangil berada di sebelah barat dengan jarak ±15 Km dari Kabupaten Pasuruan dengan batas-batasnya adalah sebagai berikut : 
Sebelah Utara : Kabupaten Sidoarjo dan Selat Madura 
Sebelah Timur : Kecamatan Kraton 
Sebelah Selatan : Kecamatan Rembang 
Sebelah Barat : Kecamatan Beji
Berdasarkan RTRW Kabupaten Pasuruan 2009-2029, menyebutkan bahwa arahan struktur ruang BWP Kecamatan Bangil merupakan kerangka tata ruang BWP Kecamatan Bangil yang tersusun atas konstelasi pusat-pusat kegiatan yang memiliki tingkatan dengan dukungan sistem jaringan prasarana kecamatan terutama jaringan prasarana transportasi. Arahan struktur ruang menggambarkan sistem pusat-pusat kegiatan di Kecamatan Pasuruan yang memberikan pelayanan bagi kawasan perkotaan dan kawasna sekitarnya dilengkapi dengan jaringan prasarana utama yang mengintegrasikan kesatuan BWP Kecamatan Bangil sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya mengenai pengembangan sistem perkotaan, BWP Kecamatan Bangil ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL), yakni berfungsi sebagai pelayanan jasa skala kabupaten bahkan menjadi ibukota Kabupaten Pasuruan. Fungsi dari PKL adalah:
a.   Sebagai pusat pelayanan umum bagi kecamatan-kecamatan yang menjadi wilayah pengaruhnya
b. Sebagai pusat perdagangan dan jasa maupun koleksi dan distribusi hasil- hasil bumi dari kecamatan-kecamatan yang menjadi wilayah pengaruhnya.
Untuk mendukung fungsi tersebut, fasilitas yang harus ada adalah fasilitas kesehatan serta perdagangan dan jasa skala kabupaten dan ditunjang oleh sarana dan prasarana transportasi yang memadai.
Berdasarkan jumlah kependudukan tiap Kelurahan, Kecamatan Bangil memiliki jumlah sebagai berikut:
berdasarkan tabel diatas dapat diketahui jika jumlah penduduk Kecamatan Bangil tiaptahunnya selalu bertambah. Jika dilihat dari diagram di atas terlihat bahwa jumlah penduduk tertinggi pada tahun 2013 terletak di Kelurahan Pogar sebesar 10.410 jiwa dan wilayah yang memiliki jumlah penduduk terkecil terletak di Kelurahan Masangan sebesar 1.968 jiwa.
Kecamatan Bangil pada umumnya memiliki mayoritas penduduk bersuku Jawa dan Madura. Hal ini bisa terjadi dikarenakan lokasi Kabupaten Pasuruan yang berdekatan dengan Selat Madura sehingga banyak pendatang yang berasal dari Pulau Madura. Budaya Kecamatan Bangil dikenal dengan kota santri atau agamis. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pondok pesantren yang ada sehingga menempatkan para kiai sebagai panutan dan menjadi tokoh informal yang mendapat tempat terhormat dalam struktur sosial masyarakat. Berdasarkan data BPS Kabupaten Pasuruan tahum 2014, jumlah pondok pesantren yang ada pada Kecamatan Bangil adalah sebagai berikut:
selain itu berdasarkan fasilitas peribadatan, masjid dan langgar memiliki jumah yang cukup banyak. berikut merupakan tabel jumlah fasilitas peribadatan
 dengan besarnya potensi Kecamatan Bangil berdasarkan agama, maka Kecamatan Bangil sendiri dapat dikembangkan sebagai kawasan pendidikan Islam dengan konsep "Santripolitan" yaitu kawasan metropolitan berbasis Syariah islam dan keagamaan. maka Kecamatan bangil dapat dijadikan pusat kegiatan pendidikan agama skala kabupaten.

Minggu, 28 Desember 2014

Imbas Kepadatan Penduduk Pada Kehidupan Rumah Susun Penjaringan Sari

Imbas Kepadatan Penduduk Pada Kehidupan Rumah Susun Penjaringan Sari
Masalah kepadatan penduduk merupakan permasalahan yang selalu ada pada kota-kota besar di Indonesia. Salah satunya yaitu Surabaya, dimana Surabaya merupakan kota terbesar ke 2 di Indonesia. Permasalahan ini bisa dibilang merupakan sumber dari segala permasalahan yang ada. Dan salah satu permasalahan yang ada pada kota Surabaya dari tahun ke tahun yaitu banyaknya pemukiman-pemukiman ilegal. Permasalahan ini merupakan imbas terbesar dari kepadatan penduduk. Pemukiman ilegal itu sendiri terjadi karena besarnya persaingan hidup dari segi ekonomi, skill dan ilmu pengetahuan. Banyak masyarakat luar kota Surabaya yang merantau tanpa dibekali skill dan ilmu pengetahuan yang menyebabkan mereka kesusahan dalam segi ekonomi. Dan dari situlah yang menyebabkan banyaknya pemukiman ilegal. Sebagian masayarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi  memilih untuk mendirikan tempat tinggal ilegal dikarenakan tidak adanya biaya administrasi untuk mendirikan bangunan tersebut.
Dari permasalahan pemukiman ilegal tersebut Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya telah berencana membangun rumah susun yang diperuntukkan masyarakat yang bertempat tinggal ilegal sejak tahun 1980-an dan mulai diterapkan pada tahun 1992. salah satunya yaitu rumah susun Penjaringan Sari. Rusun ini dimanfaatkan Pemkot Surabaya untuk menampung para warga yang digusur dari beberapa kawasan pemukiman ilegal di Surabaya, terutama dari kawasan Karang menjangan, Jl. Dr. Soetomo, Wonorejo, serta stren- stren kali. Dalam proses penggusuran serta perpindahan warga di kawasan tersebut tidaklah berjalan mulus. Beberapa faktor penghambatnya proses penggusuran serta pemindahan warga yaitu adanya sebagian warga yang tidak mau tempat tinggalnya digusur dan adanya beberapa warga pendatang yang tidak memiliki KTP Surabaya, karena Rusun Penjaringan Sari ini berada di kawasan Surabaya Timur yang dulunya merupakan daerah dekat tambak atau rawa yang mengakibatkan daerah tersebut sangat sepi. Dan faktor itulah yang menyebabkan sebagian warga tidak mau untuk pindah. Namun setelah melalui pendekatan Pemkot Surabaya berhasil membuat sebagian warga tersebut ingin pindah.
Setelah 22 tahun dihuni kini Rusun Penjaringan Sari memiliki jumlah kira-kira 480-an orang yang tinggal di dalamnya. Beberapa diantaranya merupakan warga lama yang terdiri dari warga penggusuran Karamenjangan, Jl. Dr. Soetomo tahun 1991 dan warga baru yang terdiri dari warga penggusuran stren kali di wilayah Jagir dan Wonorejo pada tahun 2002-2004. Namun seiring berjalannya waktu, banyak warga pendatang yang bukan merupakan korban penggusuran turut menempati Rusun Penjaringan Sari. Hal ini disebabkan mengingat Rusun Penjaringan Sari dekat dengan wilayah perindustrian rungkut. Warga pendatang sendiri, umumnya memilih untuk tinggal di Rusun Penjaringan Sari karena dekat dengan tempat kerja mereka sehingga jumlah warga pendatang yang menyewa atau membeli rumah di Rusun ini semakin meningkat. Dalam wawancara penulis kepada salah satu warga selaku  ibu RT blok B mendapatkan hasil bahwa hampir semua warga yang tinggal di Rusun Penjaringan Sari ini adalah warga pendatang.
“Emang ada ya bu kalo yang korban penggusuran terus tidak menempati rumah (rumah pemberian Pemkot) terus dijual ke orang lain, kaya hak patennya (hak kepemilikan) dijual ke orang lain?”
“Banyak...” kata ibu RT blok B.
“Terus rata-rata yang punya surat kemana buk? Kembali atau...?”
“Ya sudah punya rumah sendiri mbak, mbangun di desa atau beli atau sudah meninggal jadi dikasikan ke anaknya gitu loh..” kata ibu RT blok B.
Dari wawancara pertama kepada ibu RT blok B pada tanggal 1 Desember 2014  tersebut menghasilkan jawaban yang cukup mengejutkan, dimana ibu RT blok B menyatakan bahwa hampir semua penghuni Rusun Penjaringan sari ini adalah penduduk pendatang. Yaitu warga yang memilih untuk tinggal di Rusun PS dengan menyewa atau membelinya dari “pemilik” asli. Dengan kata lain mereka harusnya tidak memiliki hak untuk menempati Rusun Penjaringan Sari. Dan hal ini sangatlah bertentangan dengan Salah satu peraturan yang dulu disosialisasikan pada warga yaitu bahwa mereka dilarang memindah-tangankan, menyewakan dan menjual unit Rusun Penjaringan Sari. Namun pada kenyataannya peraturan tersebut tidak dilaksanakan. Karena menurut penulis ada sesuatu yang perlu diselidiki secara mendalam, maka penulis mencoba melakukan wawancara dengan warga Rusun Penjaringan Sari lainnya. Pada wawancara ke 2, penulis melakukan wawancara kepada 2 orang yang sedang menjaga Rusun Penjaringan Sari blok C dalam rangka siskamling bergiliran.
“Sudah berapa lama pak tinggal disin?”
“Kalo aku uda 12 tahun”
“Oh, termasuk warga asli ya pak?”
“Nggak asli”
“Yang pertama sebelum bapak itu yang menempati siapa? sodaranya apa..”
“Enggak, awal awalnya ini kan.. kalo saya pribadi ini saya beli di Pegawai Negeri Sipil (PNS) orang Kota Madya, dia punya jatah rumah disini terus dialihkan sama ada juga yang dari umum.”
Wawancara tersebut memperjelas mengenai permasalahan praktik jual beli pada Rusun Penjaringan Sari. Dan bahkan salah satu dari warga yang diwawancari mengatakan jika dia memebli unit Rusun ini melalui pegawai dari Kota Madya sendiri. Dalam praktik jual beli ini muncul lah pertanyaan “bagaimana bisa praktek jual beli ini bisa terjadi tanpa pengawasa dari Dinas yang terkait Rusun ini?”. Tentu saja karena kurangnya pengawasan dari Dinas terkait praktek ini serta adanya opnum-opnum pemerintahan yang melakukan kecurangan dalam proses-proses administrasi. Namun itu semua tidaklah lepas dari permasalahan utama pada kota-kota besar. Dimana besarnya persaingan hidup pada kota Surabaya yang menyebabkan sebagian orang menghalalkan segala macam cara demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Terlepas dari permasalahan tersebut harusnya pemerintah daerah maupun pusat tidak hanya memberikan sebuah pemberian yang langsung digunakan masyarakat miskin untuk kelangsungan hidupnya. Namun harusnya pemerintah lebih memengutamakan pemberian bekal dalam segi hard skill maupun soft skill untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat miskin. Karena hal tersebut dapat menunjang skill dan kemandirian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun adapun hal terpenting dari progam pemberian bekal pada masyarakat miskin, yaitu agar mereka mampu mengimplementasikan segala bentuk pemberian bekal dari segi hard skill ataupun soft skill untuk diterapkan langsung dalam kehidupan mereka.